Wednesday, September 30, 2009

Gula

Beberapa hari lalu saya nonton film berjudul Crossing Over. Film ini bercerita mengenai usaha beberapa imigran gelap dari beberapa negara yang berjuang untuk bisa tinggal di Amerika. Ada imigran Meksiko yang berusaha masuk melewati perbatasan tapi akhirnya mati sia-sia diterkam coyote. Ada artis kelas bawah Australia yang berselingkuh dengan seorang pegawai imigrasi demi mendapatkan greencard. Ada imigran Korea yang emang niat pindah ke Amerika demi memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Semua ingin ke Amerika. Karena Amerika amat menjanjikan bagi mereka.

Beberapa jam sebelum menonton film itu, dikereta perjalanan pulang dari kantor, iseng-iseng saya beli koran sore. Isinya tentang hal yang selalu terjadi dari tahun ke tahun yang menimpa Jakarta. Apalagi kalau bukan pendatang baru di Jakarta. Momok ini tidak berhasil dihilangkan oleh pemerintah. Semua orang ingin ke Jakarta, karena Jakarta amat menjanjikan bagi mereka.

Gemas rasanya melihat gadis 17 tahun yang nekad datang ke Jakarta seorang diri dari kampungnya dengan hanya berbekal sepotong alamat yang tidak jelas. Saya saja yang lahir, sekolah dan besar di Jakarta ga mau kalau mendadak disuruh ke bagian utara Jakarta tanpa bekal alamat yang jelas. Ya, saya besar di selatan Jakarta. Bagian utara Jakarta bukan wilayah yang sering saya injak, makanya saya ga mau sembarangan jalan kesana. Apalagi gadis 17 tahun itu. Alamat seperti Jl. Mangga no. 2 bisa ditemui dihampir seluruh wilayah Jakarta ini.

Walaupun pemerintah sudah mengatakan jangan datang ke Jakarta kalau tidak punya keahlian. Tetap saya dianggap angin lalu. Di koran yang saya baca dikatakan bahwa hampir semua pemudik yang pulang ke kampung halamannya selalu mengajak atau membawa teman/saudaranya datang ke Jakarta. Gimana Jakarta ga jadi semakin sumpek???

Saya ingat tahun lalu seusai lebaran, seperti biasa saya jogging minggu pagi bersama keluarga. Seusai jogging kami berkumpul disebuah warung untuk membeli air mineral. Waktu itu ada brosur mengenai pasar kaget minggu pagi, tapi kami tidak tahu posisi persisnya. Lalu papa saya bertanya pada si penjaga warung. Si penjaga warung menjawab dia pun tidak tahu, dengan malu-malu dia bilang " saya orang baru, Pak " dengan logat jawa yang kental. Langsung saja papa saya bilang " kamu baru datang dari kampung ya? ". Dia menjawab, " iya diajak teman ". Kami sempat bercakap-cakap dengan si pemilik warung itu. Katanya dia hanya lulusan SMP, tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah. Sementara di kampung tidak ada pekerjaan, makanya dia mau saja diajak kakak temannya datang ke Jakarta. Ujung-ujungnya disuruh jaga warung, walaupun sebenarnya dia bosan juga melakoni pekerjaan yang baru 2 mingguan dia jalani.

Atau saat saya menonton wawancara seorang reporter TV dengan seorang pendatang baru Jakarta. Alasannya, dikampung cuma kerja disawah. Kalau di Jakarta bisa kerja di gedung bertingkat yang notabene lebih keren. Pengen punya uang banyak supaya bisa beli handphone, sekolahin adik dan kirim duit untuk orang tua di kampung. Waktu ditanya pendidikan, dia bilang cuma SMA. Waktu ditanya punya keahlian apa? komputer? bahasa Inggris? dia menggelengkan kepala. Tapi tekadnya bulat. Hendak menaklukkan Jakarta.

Amerika atau Jakarta, keduanya manis seperti gula. Keduanya memancing banyak semut untuk mendatanginya. Tidak peduli apakah mereka bisa berhasil atau tidak, yang penting mereka ingin mencoba untuk meraihnya dulu. Yang saya tidak mengerti, apakah mereka tahu kalau perjuangannya amat sangat berat?

No comments: