Friday, September 9, 2011

Menjadi Atlet

Seorang teman yang kebetulan seorang ibu rumah tangga sedang uring-uringan waktu ketemu saya saat bulan puasa lalu. Apa sebab??

Ceritanya ngomongin soal Victoria Beckham yang baru saja dikaruniai bayi perempuan. Tiba-tiba temen saya cerita soal anak ABGnya yang doyan main bola. Sebagai orang tua yang memiliki anak ABG adalah wajar kalau si anak punya hobby terhadap oleh raga tertentu. Dalam hal ini, si anak memilih sepak bola. Bukan cuma doyan main aja, tapi si anak juga mengoleksi poster dan beberapa merchandise (walaupun bukan yang asli) dari beberapa klub kesayangannya. Ada yang dari liga Inggris ada yang dari Italy. Sebagai orang tua, temen saya juga membelikan kaos-kaos club bola favorit anaknya.

" Pokoknya tembok kamarnya penuh deh sama poster-poster klub bola kesayangannya " cerita teman saya.
Belum lagi karena di TV sering ditayangkan pertandingan di dua liga tersebut, si anak pun hafal nama-nama pemain kesayangannya, lengkap dengan nomor punggungnya.

" Gue sama suami pokoknya diajarin deh, si anu nomor sekian, posisinya striker, si itu nomor sekian, posisinya gelandang. Sampe pelatih, sampe pemain ini dijual ke klub ini seharga sekian, atau si pemain ini mau dipecat. Heran deh bisa ngerti sampe segitu-gitunya " tambahnya lagi.

Saya sih seneng aja dengernya. Soalnya kalo nanti saya punya anak, saya juga pengen anak saya punya hobby tertentu. Misalnya ke musik (piano) karena hubby saya bisa main piano. Atau ke olahraga seperti anaknya temen saya ini.

Tapi mendadak temen saya jadi uring-uringan. Soalnya beberapa hari sebelumnya sewaktu teman saya dan suaminya bertanya pada si anak soal sekolah SMAnya nanti (saat ini si anak masih di bangku SMP) tau-tau si anak menjawab dengan enteng bahwa dia ga mau sekolah lagi tapi mau konsentrasi berlatih sepak bola dan menjadi atlet bola dikemudian hari.

" Langsung gue lemes deh, gila apa anak itu?? Dia pikir jadi atlet di Indonesia bisa kaya di luar negeri kali ya? " kata teman saya sambil uring-uringan.

Saya mikir, iya juga sih. Saya juga pasti akan uring-uringan kalau mendadak anak saya mogok sekolah dengan alasan untuk mencapai keinginannya menjadi seorang atlet. Apalagi seorang atlet di Indonesia belum bisa dijadikan pegangan seorang untuk hari tua.

Obrolan kami menjadi lebih serius. Saya sih hanya berusaha menenangkan teman saya aja dan mengatakan mudah-mudahan itu hanya obsesi sesaat aja. Mungkin beberapa bulan lagi keinginan main bolanya akan surut. Tapi teman saya bilang, dia mengenal si anak, semakin hari obsesinya akan sepak bola malah makin menjadi. Sekarang kalau ada siaran sepak bola yang akan ditayangkan di TV dia memilih untuk tidak memberitahukan si anak. Kalau si anak mulai membicarakan sepak bola, dia juga akan berusaha mengganti topik pembicaraan.

" Gimana kalau elu cerita sama dia dengan jujur bahwa menjadi atlet di Indonesia belum bisa dijadikan pegangan hidup? "

Jujur aja beberapa saat sebelum saya bertemu dengan teman saya ini, di twitter sedang beredar berita mengenai seorang mantan atlit sepeda peraih medali emas yang saat ini menjadi seorang penarik becak. Atau banyak cerita tentang mantan atlit yang justru hidup miskin dimasa tuanya.

Hubby saya pernah cerita soal temannya. Temannya hubby dulu adalah mantan atlet sepeda. Spesialisasinya adalah pertandingan sepeda di velodrome. Dia cerita bahwa semasa sekolah dulu, dia sempat diberikan pilihan, mau konsentrasi menjadi atlet sepeda tapi mengorbankan sekolah atau kembali ke bangku sekolah dan meninggalkan cita-citanya sebagai atlet sepeda. Teman hubby memilih kembali ke bangku sekolah. Kini ia berkarir sebagai seorang programmer komputer, jauh berbeda dengan atlet sepeda dulu.

Menjadi atlet di Indonesia jangan disamakan dengan di Amerika. Atlet basket yang bermain di NBA sana disamakan derajatnya seperti artis-artos Hollywood. Liat saja dulu Dennis Rodman atau Michael Jordan yang bahkan bisa main film. Atau yang paling baru, ada Lamar Odom yang menikahi Khloe Kardashian, atau Tonny Parker yang menikahi Eva Longoria (walopun akhirnya bercerai). Sementara di Indonesia, seumur-umur saya baru sekali nonton pertandingan basket antar klub.

Atau lihat saja pemain-pemain sepak bola macam David Beckham, Wayne Rooney bahkan Cristiano Ronaldo yang selain dibayar oleh klub tapi banyak produk iklan yang mereka bintangi. Tapi mana ada atlit Indonesia yang seperti itu. Bintang-bintang sepakbola macam Irfan Bachdim, Christian Gonzales atau Bambang Pamungkas baru-baru saja menjadi bintang iklan hanya karena sukses membawa Indonesia menjadi runner up Piala AFF. Padahal PSSInya sendiri berantakan karena kebanyakan masalah. Hubby malah dengan santai bilang " si Irfan Bachdim atau Gonzales bisa jadi bintang sinetron tuh, soalnya mereka punya modal tampang dibanding pemain yang lain ".

Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang pernah meraih medali emas Olimpiade aja sekarang malah berbisnis dibidang garmen baju-baju olahraga. Padahal saya percaya dulu mereka pasti menerima banyak uang bonus.

Duluuuuuu.... waktu saya masih duduk di bangku SD, papa saya rajin mengajak kami anak-anaknya untuk nonton pertandingan olahraga di Senayan kalau ada PON atau bahkan Asian Games. Tapi orang tua saya tidak mengarahkan saya untuk berkonsentrasi menjadi seorang atlet. Mereka tetap meminta saya konsentrasi untuk belajar.

Jadi kesimpulannya, saya, teman saya dan mungkin beberapa orang tua lainnya akan melarang anak-anak kami menjadi atlet. Mungkin kalau duia olahraga Indonesia sudah membaik nanti, barulah hati kami melunak.



No comments: