Friday, September 30, 2011

Pernikahan kedua

Bulan September ini banyak memberikan saya kesempatan untuk mendengar cerita-cerita yang beragam. Ada yang sedih tapi banyak yang menyenangkan.

Yang paling saya suka adalah sewaktu saya mendapatkan kesempatan mendengarkan cerita dari seorang teman yang sudah lost contact dengan saya hampir 20 tahun. Sejak saya lulus SMA, saya tidak pernah mendengarkan lagi cerita tentang teman saya ini. Hampir 20 tahun kemudian saya bertemu lagi dengan dia dan saya amaze dengan ceritanya.

Sewaktu teman saya lulus SMA, dia menyadari kalau dia sudah hamil. Jadi pada saat teman-temannya sibuk kuliah, dia sibuk mengurus bayinya. Saat kami menikmati masa-masa menyenangkan di kampus, ia mencuci botol susu atau popok bayinya. Yang paling menyedihkan adalah bagaimana ia menukar impiannya menjadi seorang sarjana Strata 1 dengan menjadi lulusan D1 supaya bisa lekas bekerja demi anaknya.
Rumah tangga yang dibangun dengan terpaksa pun mulai hancur. Ia menyadari pernikahannya tidak pernah solid sejak awal. Apalagi ia dan suaminya kala itu belum mencapai usia 20 tahun saat menikah. " Masih muda dan ceroboh " demikian katanya pada saya.

Akhirnya di tahun ke 8 perpisahanpun terjadi. Sebenarnya sejak tahun ke-3 ia sudah berusaha menceraikan suaminya. Tetapi selalu ada kata maaf, ada usaha untuk mempertahankan dan terjadi berulangkali, Teman saya sudah capek melakukan hal yang sama berkali-kali. Terlalu banyak hal berbeda yang membuat mereka tidak bisa bersatu lagi. Sementara menurut teman saya, suaminya tidak ada usaha untuk membuat segalanya menjadi lebih baik. Ujung-ujungnya suaminya malah mengancam akan melakukan hal buruk pada teman saya dan anaknya. Makanya baru pada tahun ke-8 lah palu hakim bisa diketuk setelah melalui jalan panjang yang berliku.

Langkah pertama yang diambilnya setelah ada keputusan dari hakim adalah menyiapkan dirinya untuk kembali ke bangku kuliah. Kuliahpun cepat-cepat diselesaikan karena saat itu ia juga bekerja serabutan. Sebenarnya orang tuanya tidak memintanya bekerja. Mereka memintanya untuk tenang-tenang kuliah dan menikmati masa kuliahnya yang tertunda. Tetapi kata teman saya, ia tidak bisa lagi hidup dari kebaikan orang tuanya. Duluuuu... sewaktu ia hamil saat baru lulus SMA, dengan besar hati orang tuanya malah memberikan rumah kepadanya dan suaminya saat itu supaya ia bisa membina rumah tangganya. Urusan bayinya pun juga ditanggung oleh kedua orang tuanya. Karena itu, saat ia memutuskan kembali ke bangku kuliah, dijalaninya juga kerja serabutan agar tidak memberatkan kedua orang tuanya.

Lima tahun itu dia jalani dengan susah payah dan terpuruk-puruk. Sakit tidak dihiraukannya demi mengejar gelar S1, bekerja serabutan dan mngurus seorang anak yang sedang tumbuh. Setelah gelar sarjana dipegangnya. Hidupnya lebih tenang, dibantu oleh seorang kerabatnya, ia bisa masuk dan bekerja disebuah bank asing. " Gue berusaha mengejar semua ketinggalan gue ".

Hampir dua puluh tahun kemudian, saya kembali bertemu dia. Ceritanya sudah berbeda sekarang. Kini ia menjalani hidup dengan suami keduanya dengan bahagia. Anak sulungnya akan masuk ke jenjang universitas. Dari suami keduanya, ia pun sudah dikaruniai seorang bayi laku-laki yang tampan. Pekerjaan bagus sudah dipegangnya. Suami yang baik ada dipelukannya. Jadi apa lagi yang kurang? Tidak ada katanya.

Saya terkesan dengan ceritanya. Tidak ada air mata lagi sekarang. Yang ada hanya bahagia :)

No comments: